Bagaimana Israel Berdiri: Peran Lobi Zionis Amerika hingga Perlawanan Palestina berdasarkan Buku Palestina Tanah Risalah karya Dr. Robert Garaudy

Apakah negara Israel didirikan berdasarkan Kebijakan Partisi tahun 1947 ?. Kita harus telusuri lagi faktanya karena Kebijakan Partisi PBB bukanlah akta yang mengesahkan keberadaan negara zionis melainkan ekspansi dan tindakan teroris terorganisir. 

Berdirinya Negara Israel 


Pada 29 November 1947, Majelis Umum PBB mengeluarkan kebijakan partisi yang membagi wilayah Palestina menjadi dua. Meskipun orang Yahudi hanya 32% dari total populasi, mereka diberikan 56% wilayah. Tiga negara—Haiti, Liberia, dan Filipina—awalnya menolak resolusi ini, namun kemudian menyetujuinya karena tekanan kuat dari pemerintah dan warga Amerika (Garaudy, hlm. 268).

Antara keputusan pembagian tersebut hingga berakhirnya mandat Inggris pada 15 Mei 1948, milisi Zionis telah menduduki sejumlah wilayah Arab, termasuk Jaffa dan Akka.

Untuk mendirikan negara Israel, kelompok Zionis menggunakan teror terorganisir yang didukung negara, termasuk pembantaian terhadap warga sipil Palestina. Salah satu tragedi besar terjadi di Deir Yassin pada 9 April 1948, ketika kelompok Irgun yang dipimpin Menachem Begin membantai 254 penduduk desa—termasuk lansia, perempuan, dan anak-anak.

Setelah perang Arab-Israel pertama tahun 1949, Israel menguasai 80% wilayah Palestina dan mengusir sekitar 770.000 warga Palestina. PBB mengutus mediator Count Folke Bernadotte, yang dalam laporannya pada 16 September 1948 menyebut pengusiran warga sipil sebagai pelanggaran prinsip keadilan mendasar. Ia juga mencatat perampasan dan penghancuran desa-desa Palestina tanpa alasan militer jelas. Keesokan harinya, Bernadotte dan asistennya dibunuh di Yerusalem oleh milisi Zionis.

Sebagai respons atas kecaman global, Israel menangkap pemimpin kelompok pembunuh, Nathan Friedman, menjatuhkan hukuman lima tahun penjara, namun segera membebaskannya. Ia bahkan terpilih sebagai anggota Knesset pada 1950.

Garaudy menegaskan: pendirian Israel bukan hasil keputusan sah PBB, melainkan melalui operasi militer dan kekerasan yang dilakukan oleh milisi Irgun, Haganah, dan Stern. Resolusi pembagian itu hanya dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB—bukan Dewan Keamanan—sehingga tidak memiliki kekuatan eksekutif dan bersifat rekomendatif.

Peran Lobi Zionis di Amerika

Senator J. William Fulbright pernah memimpin investigasi tentang kekuatan lobi Zionis di Amerika. Ia menemukan bahwa Dewan Zionis Amerika memainkan peran besar dalam membentuk opini dan kebijakan publik melalui berbagai saluran:

  1. Media Massa: Mengarahkan editor majalah untuk menyebarkan propaganda pro-Israel.

  2. Radio, Televisi, dan Film: Mengatur tayangan dan film yang membentuk citra positif Israel.

  3. Organisasi Keagamaan: Mengedukasi pemimpin agama untuk mendukung agenda Zionis.

  4. Universitas: Memberi dukungan kepada lembaga seperti American Association for Middle East Studies guna menanamkan ideologi Zionisme.

  5. Penerbitan dan Pers: Mengatur buku, surat kabar, dan para dosen.

  6. Hubungan Organisasi: Membangun jaringan dengan organisasi nasional dan lokal.

  7. Publikasi dan Perjalanan: Mengatur proyek, publikasi, serta perjalanan ke Israel.

Laporan komite kongres menunjukkan bahwa jaringan ini sangat kompleks, terdiri dari ratusan organisasi seperti: Jewish Telegraphic Agency, Dewan Sinagoge Yahudi Amerika, Presidents’ Conference, dan Hebrew Culture Foundation. Fulbright menyatakan bahwa Israel memiliki pengaruh pada 70% anggota Senat AS.


AIPAC, salah satu organisasi lobby Israel di Amerika. Sumber: CNN Indonesia


Pada 1984, Dewan Kegiatan Ekonomi Amerika memutuskan—dengan dukungan 98% suara—untuk membebaskan Israel dari batas pertukaran dagang, memberikan keistimewaan ekonomi.

Kasus-Kasus Dukungan Amerika terhadap Israel

  • 8 Juni 1967, pesawat dan kapal perang Israel menyerang kapal intelijen Amerika, USS Liberty. Serangan ini menewaskan 34 marinir dan melukai 171 lainnya. Laksamana Muur menyebut lobi Zionis telah menyembunyikan fakta kejahatan ini karena Presiden Johnson khawatir akan dampak politik dari pemilih Yahudi.

  • 1985, Jonathan Jay Pollard, analis Angkatan Laut AS, ditangkap karena membocorkan dokumen rahasia kepada Israel. Ia mengaku menerima $50.000 sejak 1984.

  • Organisasi Yahudi di Amerika mengirim setidaknya $1 miliar per tahun ke Israel. Dana ini dikategorikan sebagai sumbangan amal, sehingga bebas pajak. Namun pada praktiknya, pajak warga AS ikut mendanai militer Israel.

  • Bantuan resmi dari pemerintah AS kepada Israel pada awal 1980-an mencapai lebih dari $3 miliar per tahun, menjadikan Israel penerima bantuan luar negeri terbesar. Jika dihitung per kapita, bantuan ini tiga kali lipat lebih besar dibandingkan negara-negara seperti Mesir dan sebagian besar Afrika.

Kebijakan Israel: Pilar Etnisisme dan Ekspansionisme

Kebijakan domestik Israel dibangun di atas dua fondasi utama: etnisisme dan ekspansionisme. Sejak awal berdirinya, para pemimpin Zionis berusaha menggalakkan imigrasi Yahudi ke wilayah Palestina. Namun, pada kenyataannya, imigrasi tidak berlangsung masif. Antara 1951–1961, hanya 800.000 orang Yahudi yang datang ke Israel. Bahkan pada 1975–1976, jumlah orang yang keluar dari Israel melebihi jumlah imigran yang masuk. Dari sekitar 2,5 juta orang Yahudi yang melarikan diri dari Nazi, hanya 8,5% yang datang ke Palestina antara 1935–1943.

Karena kegagalan strategi propaganda, para pemimpin Zionis mulai menggunakan tekanan dan teror melalui organisasi seperti Haganah. Mereka bahkan melakukan provokasi antisemit untuk memicu gelombang imigrasi. Contohnya adalah insiden kapal Patria tahun 1940, di mana Haganah meledakkan kapal berisi pengungsi Yahudi di pelabuhan Haifa. Peristiwa itu menewaskan 252 orang Yahudi dan beberapa pelaut Inggris. Pemimpin Zionis seperti Ben-Gurion menganggap peristiwa ini sebagai “pengorbanan kecil” demi tujuan besar.

Zionisme garis keras bahkan tidak menentang Undang-Undang Nuremberg buatan Nazi, karena undang-undang itu membantu menjaga kemurnian identitas Yahudi. Mereka menganggap hukum tersebut sebagai “cermin” dari prinsip etnis Yahudi yang telah berlaku sejak ribuan tahun.

Zionisme mengalami dua fase kolonialisme. Tahap pertama adalah kolonialisme tradisional seperti yang dilakukan Baron Rothschild, yang berinvestasi dengan memanfaatkan tenaga kerja lokal. Fase kedua dimulai sekitar 1905, ketika para imigran Yahudi dari Rusia memperkenalkan sistem koperasi pertanian kibbutzim, yang sepenuhnya eksklusif bagi Yahudi.


Pengungsi Palestina saat Pembantaian Deir Yassin. Sumber: IHH.org


Pada 1961, Dana Nasional Yahudi mulai membeli tanah Palestina dan memastikan bahwa lahan itu tidak boleh dijual atau disewakan kepada non-Yahudi. Kampanye ini mendorong eksodus massal rakyat Palestina, dipicu oleh aksi-aksi teroris seperti pembantaian Deir Yassin (1948), Kafr Qasim (1956), dan operasi unit 101. Ditambah lagi, pada 1950 Israel mengesahkan undang-undang untuk menyita tanah-tanah dari orang Palestina yang mengungsi.

Koloni-koloni Israel terus berkembang, termasuk di Tepi Barat sejak 1979. Maka, tak mengherankan bila Majelis Umum PBB pada 1975 menyatakan bahwa Zionisme adalah bentuk apartheid dan diskriminasi rasial.

Kebijakan Luar Negeri: Ekspansi atas Nama Pertahanan

Israel menjadi satu-satunya negara yang diterima sebagai anggota PBB pada 1949 secara bersyarat—dengan janji menjaga status quo Yerusalem, mengizinkan warga Palestina kembali ke rumah mereka, dan menghormati batasan wilayah yang ditetapkan oleh resolusi PBB. Namun, Israel mengingkari semua janji tersebut.

Saat Resolusi 29 November 1947 dikeluarkan, yang membagi wilayah Palestina, Ben-Gurion justru menyatakan resolusi itu tidak sah. Intervensi negara-negara Arab untuk mencegah pembantaian terhadap warga Palestina malah dijadikan dalih Israel untuk mencaplok wilayah baru. Dalam Perang 1948, Israel yang memiliki 60.000 tentara berhasil mengalahkan 22.000 tentara gabungan dari Mesir, Suriah, Yordania, Lebanon, dan Irak.

Pada 5 Juni 1967, Israel menyerang terlebih dahulu tanpa pernyataan perang. Tuduhan bahwa Israel hanya membela diri dari ancaman “pemusnahan” terbukti tidak benar. Bahkan Jenderal Rabin menulis bahwa Mesir tidak berencana perang ofensif. Sejak awal, perang demi perluasan wilayah sudah menjadi inti dari ideologi Zionisme.

Perang Lebanon 1982 menjadi contoh lain. AS menolak mendukung resolusi PBB yang menuntut penarikan Israel. Setiap perang yang dilakukan Israel bertujuan memperluas pengaruh regional atas nama “pertahanan”.

Amerika Serikat memainkan peran penting dalam mendukung Israel secara militer. Dari total $28 miliar bantuan militer AS sejak 1951, sekitar $15 miliar diterima Israel. Dari 567 pesawat tempur yang dimiliki Israel saat invasi ke Lebanon, 457 di antaranya berasal dari AS.

Israel menjadi polisi Timur Tengah, menggantikan peran Iran setelah revolusi 1979. Ia mengamankan wilayah strategis seperti Terusan Suez, kawasan minyak Teluk, serta menjadi alat dominasi AS di kawasan.

Perlawanan Palestina: Dari Perang Tani hingga Gerakan Nasional

Perlawanan Palestina dimulai sejak 1919, ketika Kongres Rakyat Palestina menuntut kemerdekaan yang dijanjikan sekutu pada Perang Dunia I. Selama 1920–1929, pemberontakan rakyat meningkat karena ketidakadilan dalam pengambilalihan tanah oleh Zionis. Komite investigasi Inggris pun mengakui bahwa sebelum perang, warga Yahudi dan Arab hidup berdampingan secara damai.

Tahap awal perlawanan bersifat agraris. Rakyat Palestina memberontak karena tanah dan sumber kehidupan mereka dirampas. Organisasi pekerja Zionis, Histadrut, menerapkan kebijakan "pekerjaan hanya untuk Yahudi", menambah ketegangan.

Revolusi bersenjata pertama dipelopori oleh Syekh Izzudin al-Qassam (1933–1935). Inggris merespons dengan brutal, bekerja sama dengan kelompok teroris Zionis untuk menghancurkan gerakan perlawanan. Ribuan rakyat Palestina tewas, ditangkap, atau dieksekusi.

Meski demikian, pemberontakan tak berhenti hingga Perang Dunia II. Buku Putih Inggris 1939 menjanjikan kemerdekaan Palestina dan pembatasan imigrasi Zionis, tetapi janji ini pun diabaikan.

Zionis kemudian memanfaatkan posisi warga Arab yang lemah dengan melakukan pembantaian massal, termasuk Deir Yassin, untuk mendorong eksodus rakyat Palestina.


Yasser Arafat. Sumber: Wikipedia

Kemenangan rakyat Aljazair melawan kolonialisme Prancis menjadi inspirasi perjuangan Palestina. Pada 1964, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) didirikan. Piagam PLO menegaskan bahwa perlawanan mereka bukan terhadap Yahudi sebagai agama atau etnis, tetapi terhadap pendudukan Zionis.

Faksi terkuat dalam PLO, Fatah, menyatakan bahwa perjuangannya bersifat anti-kolonial, bukan anti-Yahudi. Sayangnya, dukungan dari dunia Arab terbatas. Ketidakharmonisan politik di dunia Arab menjadi kerugian besar bagi Palestina.

Namun, pertempuran di Karameh (1968), di mana pasukan kecil Palestina dan tentara Yordania berhasil menahan serangan besar Israel, menjadi titik balik. Sejak 1969, faksi-faksi perlawanan menyatu di bawah PLO, yang melakukan serangan terorganisir terhadap penjajah.

KTT Arab 1974 di Rabat mengakui PLO sebagai satu-satunya wakil sah rakyat Palestina. PLO juga menjadi anggota gerakan Non-Blok dan diundang menyampaikan pidato di PBB oleh Yasser Arafat.

Pengetahuan, Media, dan Harapan Masa Depan

Meski Palestina belum merdeka, perjuangan mereka mendapat legitimasi moral dunia. Sebanyak 20% warga Palestina tinggal di Israel tanpa hak politik, sementara lebih dari 550.000 orang menjadi pengungsi.

Namun, Palestina menunjukkan daya tahan luar biasa: tingkat pendidikan warganya tertinggi di dunia Arab, melebihi Israel dan Inggris. Terdapat ribuan dokter, insinyur, dan guru di antara mereka.

Yang masih tertinggal adalah penguasaan media dan opini publik global. Zionis sejak awal memahami pentingnya media sebagai alat propaganda dan pengaruh. Sayangnya, dunia Arab dan Palestina belum menaruh perhatian besar pada hal ini.

Keberhasilan perjuangan Palestina sangat bergantung pada konsolidasi organisasi, penguasaan narasi, serta perlawanan yang menyentuh opini publik internasional. Jika opini publik global mulai menyadari besarnya kebohongan yang dibangun Zionisme, maka kekuatan hegemonik Israel bisa dilucuti secara moral dan diplomatik.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian Garaudy, terbentuknya negara Israel bukanlah hasil legal dari sistem internasional, melainkan buah dari strategi kekerasan dan dukungan politik-ekonomi luar, khususnya dari Amerika Serikat melalui lobi Zionis. Israel tidak hanya didukung oleh kekuatan militer, tapi juga oleh jaringan propaganda yang luas dan pengaruh kebijakan luar negeri Amerika yang sistematis.

Beliau juga mengatakan dalam bukunya bahwa keberhasilan perlawanan Palestina terhadap pendudukan Israel hanya dapat terwujud keberhasilannya jika itu turut menyangkut tentang bagaimana kita menguliti kebohongan demi kebohongan yang telah bertahun-tahun disebarkan oleh kaum propagandis Zionis. Saat itu zionisme politik akan bertekuk lutut dan terpaksa harus mengikuti kebiasaan internasional serta membayar ganti rugi atas kekejaman yang telah mereka lakukan terhadap warga Palestina.

Tentang Buku

Kalau kamu ingin memahami konflik Palestina dari akar sejarahnya, buku Palestina: Tanah Risalah karya Dr. Roger Garaudy adalah bacaan yang mencerahkan sekaligus mengguncang. Ia membongkar kepalsuan narasi zionisme — dengan data sejarah, kritik tajam, dan keberanian intelektual yang jarang ditemui di dunia akademik Barat.


Judul: Palestina Tanah Risalah: Membongkar Mitos-Mitos Zionis

Penulis: Dr. Roger Garaudy

Penerbit: Alvabet

Cetakan: I, Oktober 2024

Ukuran: 15 x 23 cm

Tebal: 400 halaman 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membongkar Mitos Zionis: Sejarah Panjang Palestina yang Terlupakan Berdasarkan Buku “Palestina Tanah Risalah” Karya Dr. Roger Garaudy

Sejarah Gerakan Zionisme: Dari Zaman Renaisans sampai Era Perang Dunia I dan II Berdasarkan buku Palestina: Tanah Risalah karya Dr. Roger GaraudY