Membongkar Mitos Zionis: Sejarah Panjang Palestina yang Terlupakan Berdasarkan Buku “Palestina Tanah Risalah” Karya Dr. Roger Garaudy

 Jika kita tak cukup kritis, kita akan mudah termakan oleh klaim-klaim palsu yang minim fakta. Salah satu klaim paling masif dari para pendukung Zionisme adalah narasi bahwa Palestina adalah "tanah kosong" yang baru dihuni oleh bangsa Yahudi.

Namun, temuan arkeologis dan penelitian sejarah menunjukkan hal yang sebaliknya. Palestina, yang merupakan bagian integral dari kawasan Bulan Sabit Subur, sudah dihuni oleh berbagai ras dan peradaban sejak zaman prasejarah.

Penggalian arkeologi di Wadi Natuf mengungkapkan keberadaan kota tertua di dunia, Jericho. Bukti-bukti ini mengindikasikan bahwa urbanisasi awal telah terjadi di kawasan Palestina sekitar tahun 7000–6000 SM (Garaudy: 19).

Temuan lain seperti Tell Abu Matar, Bir as-Safadi, dan Khirbet al-Batrawy menegaskan keberadaan peradaban manusia di wilayah ini sejak 3600–320 SM. Sejarah tercatat dimulai sejak migrasi besar-besaran pada Zaman Perunggu Awal sekitar 3100 SM, sebagaimana ditunjukkan oleh tulisan Hieroglif Mesir dan aksara paku dari Mesopotamia (Garaudy: 20).


Aksara Paku Mesopotamia. Sumber: Ensyclopaedia Britannica

Sejak awal zaman sejarah, para imigran di wilayah ini disebut sebagai orang Kan'an—nama yang juga disebut dalam Taurat. Palestina pun terbentuk sebagai sebuah entitas yang terdiri dari tanah, bangsa, dan budaya. Fondasinya adalah tanah Kan'an, bangsa Kan'an, dan kebudayaan Kan'an. Migrasi Semitik selama ribuan tahun membentuk bangsa Palestina yang dikenal tangguh dan inovatif.

Tak hanya itu, huruf alfabet yang kini menjadi dasar komunikasi global, lahir dari kawasan ini pada abad ke-15 SM (Garaudy: 21).

Yahudi: Satu dari Banyak Gelombang Migrasi

Orang Yahudi sendiri datang ke Palestina sebagai bagian dari migrasi orang Ibrani—salah satu cabang dari bangsa Aram yang lama tidak memiliki tempat tinggal tetap. Mereka berasal dari berbagai wilayah seperti Mesopotamia, Suriah, Mesir, dan Palestina, bergabung dengan kelas-kelas sosial yang tidak memiliki tanah, bekerja sebagai buruh tani, tentara bayaran, atau bahkan membentuk kelompok perampok ketika tak ada pekerjaan (Garaudy: 63).

Bangsa Ibrani mulai memperoleh kekuatan militer saat beraliansi melalui sistem hakim (judge) untuk melawan bangsa Filistin. Dari sinilah muncul tokoh seperti Saul dan kemudian Raja Dawud sekitar tahun 1000 SM. Di bawah Raja Sulaiman (970–930 SM), bangsa ini sempat mencapai masa kejayaan sebelum kemudian tercerai-berai.

Tahun 587 SM menandai runtuhnya kerajaan Yahudi oleh serangan Raja Nebukadnezar dari Babilonia, yang menghancurkan Bait Suci di Yerusalem.

Asimilasi dan Adopsi Budaya Lokal

Selama eksistensi mereka di Palestina, bangsa Yahudi justru banyak mengadopsi budaya lokal—terutama dari bangsa Kan'an dan Filistin. Tak hanya cara bertani, mereka juga menyerap prinsip monoteistik dan nilai-nilai transendental, seperti yang tercermin dalam Kidung Matahari Akhenaten.

Nama-nama Tuhan seperti Yahweh dan El dalam Taurat sejatinya adalah adaptasi dari nama-nama Tuhan dalam kepercayaan Kan'an. Konsep “tanah perjanjian” pun diadopsi dari keyakinan bahwa Baal, dewa bangsa Kan’an, menjamin hak atas tanah tersebut.

Yesus dan Perlawanan terhadap Ortodoksi Yahudi-Romawi

Setelah Palestina dikuasai berbagai kekaisaran seperti Mesir, Persia, Yunani, dan Romawi, lahirlah Yesus dari Nazaret pada masa pemerintahan Herodes. Ajarannya yang inklusif dan penuh cinta—tanpa sekat antara teman dan musuh, warga dan pendatang—berbeda drastis dengan otoritas religius Yahudi dan penguasa Romawi kala itu (Garaudy: 114).

Namun ajaran Yesus tak bertahan lama dalam bentuk aslinya. Pada Konsili Nicea tahun 325 M, kekristenan mulai dikonstruksi secara politis oleh Kaisar Konstantinus. Konsep kerajaan Tuhan dileburkan ke dalam struktur kekaisaran Romawi.

Selama masa Bizantium, Palestina mengalami tekanan berat, termasuk penganiayaan terhadap Yahudi dan Samaria. Setelah Konsili Kalsedon (451 M), gereja mulai memaksakan dogma dan menindas kelompok-kelompok yang dianggap sesat, termasuk kaum Nestorian (Garaudy: 119).

Masuknya Islam: Bukan Invasi, Tapi Pembebasan

Tahun 638 M menandai datangnya Islam ke Palestina. Namun seperti ditegaskan Garaudy, kedatangan Islam bukanlah invasi, melainkan pembebasan. Saat itu, masyarakat Arab telah menghuni Palestina selama lebih dari tiga ribu tahun sejak migrasi Semit awal.

Umat Islam yang datang disambut sebagai pembebas dari tirani Romawi. Seorang warga Siria, Michel, berkata, "Tuhan sang pembalas telah mengirim orang-orang Arab untuk menyelamatkan kami dari Romawi" (Garaudy: 121).

Patriark Sophronius dari Yerusalem bahkan menawarkan kunci kota kepada Khalifah Umar secara langsung. Penampilan Umar yang bersahaja, hanya mengenakan jubah dari bulu unta, menjadi kontras mencolok dengan gaya mewah para penguasa Bizantium (Garaudy: 122).

Khalifah Umar menolak untuk salat di gereja agar umat Islam tidak mengubahnya menjadi masjid. Ia bahkan menyerukan perlindungan terhadap umat Kristiani dan Yahudi—mewujudkan era toleransi yang berlangsung selama berabad-abad.

Dari Perang Salib hingga Zionisme Modern

Kedamaian Palestina terusik sejak abad ke-10 M oleh invasi pasukan Kristen. Kemudian pada 1095, Paus Urbanus II menyerukan Perang Salib dalam Konsili Clermont. Yerusalem sempat jatuh ke tangan pasukan Salib sebelum direbut kembali oleh Shalahuddin al-Ayyubi pada 1 Oktober 1187.

Dua abad kemudian, pasukan Salib terakhir meninggalkan Palestina. Menurut Garaudy, Perang Salib adalah bentuk awal dari Zionisme Kristen—dan Zionisme modern hanyalah kelanjutannya dalam bentuk politik. Keduanya bertujuan sama: menguasai Timur demi kepentingan Barat.

Pada 1240, Palestina dikuasai oleh bangsa Turki, dan kemudian secara resmi menjadi bagian dari Kesultanan Utsmaniyah pada 1453. Meskipun kondisi politik tidak selalu stabil, Palestina tetap dalam naungan dunia Islam hingga awal abad ke-20.

Tahun 1917, setelah kekalahan Jerman dalam Perang Dunia I, wilayah Kesultanan Utsmaniyah dibagi-bagi—dan Palestina menjadi sasaran proyek kolonial modern.



Mengapa Buku Ini Penting?

Dr. Roger Garaudy, filsuf dan sejarawan asal Prancis, dengan cermat membongkar mitos Zionisme dalam bukunya Palestina: Tanah Risalah. Buku ini terdiri dari tiga bagian:

  1. Sejarah panjang tanah Palestina.

  2. Lahirnya negara Zionis pasca Perang Dunia I.

  3. Strategi lobi dan invasi Zionis di abad modern.

Garaudy menyebut bahwa musuh sejati kita adalah organisasi terpusat dan sistematis yang memiliki kendali atas media untuk membentuk opini publik. Maka, membaca buku ini adalah upaya untuk memulihkan perspektif dan kebenaran sejarah.

Zionisme hanya bisa dilawan dengan pengetahuan, dengan mengungkap kebohongan-kebohongan yang selama ini menyelubungi isu Palestina. Ketika opini publik kembali jernih, saat itulah ideologi penindasan seperti Zionisme akan kehilangan pijakan moral dan politiknya.

Spesifikasi Buku


Judul: Palestina Tanah Risalah: Membongkar Mitos-Mitos Zionis

Penulis: Dr. Roger Garaudy

Penerbit: Alvabet

Cetakan: I, Oktober 2024

Ukuran: 15 x 23 cm

Tebal: 400 halaman 



Komentar